Dam Ngasem-Gayamsewu |
Kadilajo ~ Berdasarkan Undang-undang nomor 19 tahun 1965 tentang Desa Praja , yang dimaksud dengan Desa Praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Republik Indonesia.
Desa Praja ( DePra ) Kadilajo pada tahun 1966 terjadi kekosongan kepala desa dan untuk mengisi ditunjuk care taker ( pejabat sementara/ PJs ) oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Klaten.
Sosok PJs Kepala DePra Kadilajo itu adalah Brip Pol Soegito, polisi aktif bukan putera daerah ditugaskan menjabat selama 5 ( lima ) tahun hingga tahun 1970 an.
Berkat pengalaman dan komitmennya sebagai kepala Desa Praja Kadilajo Soegito sangat paham potensi daerahnya, salah satunya adalah sebagian besar warga masyarakatnya berkerja sebagai petani lahan sawah.
Luas lahan pertanian padi sawah sekitar 136 hektar ( 65,38 % dari luas wilayah ) , merupakan areal terluas dibandingkan Desa - Desa lainnya di Kecamatan Karangnongko.
Disamping itu DePra Kadilajo memiliki sumberdaya air yang cukup melimpah baik dari sejumlah mata air maupun sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun.
Permasalahan yang dihadapi oleh petani Desa Praja Kadilajo dan daerah bawahnya adalah keterbatasan air irigasi untuk usahatani padi sawahnya terlebih pada saat musim kemarau.
Identifikasi masalah tersebut kemudian dirumuskan sejumlah langkah solusinya dengan musyawarah warga masyarakat khususnya para petani Tri DePra ( Kadilajo,kecamatan Karangnongko Joton dan Tambakan kecamatan Jogonalan ), yakni untuk membangun Dam alias Bendungan Irigasi secara permanen dengan cara swadaya masyarakat.
*Dam Gayamsewu*
Jembatan Gayamsewu |
Hasil dari musyawarah Tri DePra untuk membuat Dam irigasi, berdasarkan rekomendasi teknis dari Dinas Pengairan Klaten ditetapkan titik lokasinya di Kali Gedhe dekat Jembatan Gayamsewu.
Jembatan Gayamsewu merupakan jembatan terpanjang di desa Kadilajo yang berada di zona utara menghubungkan kecamatan Manisrenggo - Kemalang - Karangnongko pada jalan kabupaten.
Dinamakan Gayamsewu karena zaman dahulu disekitarnya banyak tumbuh pohon gayam .
*Kenapa di Gayamsewu?*
Jauh sebelum Indonesia merdeka yakni saat zaman penjajahan Belanda sebenarnya telah dibangun bendungan irigasi beserta saluran yang dikenal dengan nama jolontoro di anak sungai Gedhe yang berhulu di padukuhan Gatak dan Kalikajar Desa Keputran Kecamatan Kemalang kab Klaten.
Titik lokasi dam pengairan peninggalan zaman kolonial itu berada di timur dk Gempol ( sekarang Polanharjo ) Desa Kadilajo, dengan saluran airnya melewati terowongan dibawah jalan raya Manisrenggo - Kemalang.
Bangunan jolontoro yang memotong kali Gedhe itu ternyata tidak mampu menahan dahsyatnya banjir besar di musim penghujan sehingga runtuh menyebabkan aliran air terputus.Putusnya Jolontoro itu tidak ada informasi yang pasti namun diperkirakan sebelum Indonesia merdeka.
Akibat runtuhnya jolontoro itu petani wilayah oncoran irigasi tiga Desa Praja menjadi kesulitan mendapatkan air untuk berusahatani padi sawah.
Petani tidak dapat menunggu masa sulit seperti ini berlama-lama, kemudian berinisiatif membuat bendungan sederhana dengan menata batu-batu kali yang banyak terdapat di Kali Gedhe.
Lokasi bendungan manual dan rentan dadhal jika ada banjir ini berada dekat pohon asem besar di selatan dk Gempol, sehingga sebagai penanda suatu tempat lazim disebut bendungan Ngasem.
Dari bendungan Ngasem ini dibuat saluran air dibawah tebing dan melewati terowongan dibawah jalan raya Manisrenggo - Kemalang tepatnya di selatan Jembatan Gayamsewu , kemudian bertemu dengan saluran eks jolontoro.
Pintu air di eks Jolontoro |
Hingga tahun 1966 kondisi bendungan Ngasem yang darurat dirasakan tidak dapat efektif dan efisien sehingga tidak dapat stabil dan optimal aliran air irigasi yang didapatkannya.
Kelompok petani Kadilajo khususnya setiap menjelang musim tanam padi sawah terutama yang airnya dari bendungan Ngasem senantiasa mengadakan gerakan gotong royong memperbaiki tanggul dan badan bendungan yang rusak diterjang banjir.
Akhirnya direncanakan untuk membangun Dam irigasi permanen di timur jembatan Gayamsewu dan dititik itulah dinilai tepat karena debit air yang diperoleh cukup besar karena merupakan tempuran dua sungai yakni kali Gedhe mendapatkan tambahan aliran air dari anak sungai yang berhulu Kali Tanjung .
Disamping merupakan tempuran saluran air primernya dapat menggunakan saluran eks jolontoro maupun Eks bendungan Ngasem yang masih tersisa dan secara teknis layak dimanfaatkan.
*Dam Ngasem - Gayamsewu*
Prasasti Dam Ngasem-Gayamsewu |
Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sayap kiri bendungan dekat pintu air bahwa :
Bendungan irigasi yang menjadi impian petani Tri Desa Praja Kadilajo, Tambakan dan Joton dinamakan Dam Ngasem - Gayamsewu dibangun mulai tanggal 2 Juli 1967 dan selesai 10 November 1967.
Nama ini merupakan gabungan tetenger antara Bendungan Ngasem sebagai cikal bakal bendungan manual buatan petani dan Gayamsewu karena bendungan baru ini terletak dekat jembatan Gayamsewu.
Pemrakarsa Kepala Desa Praja Kadilajo Brip Pol Soegito, dengan pelaksana satu T Mantorahardjo ( Ulu-ulu Desa Kadilajo ) dan kedua Partowihardjo seorang tokoh masyarakat dk Kadilajo.
Pembangunan Dam dibantu / direstui Bupati Daerah Tingkat II Klaten Letkol Soetijoso.
Dilaksanakan ( dibiayai secara swadaya ) Tri Desa Praja yakni Kadilajo, kecamatan Karangnongko serta Tambakan dan Joton kecamatan Jogonalan kab Klaten.
Luas sawah yang dapat dioncori dari Dam ini seluas 145 hektar berada di tiga wilayah Desa Praja.
Pembimbingan teknis dari Dinas Pengairan kabupaten Klaten, serta pengawasan oleh Camat Karangnongko M Prapto Darsono.
Dalam prasasti yang masih cukup baik dan jelas terbaca itu tidak disebutkan berapa total biaya patungan swadaya masyarakat yang digunakan untuk membangun Dam tersebut.
Bupati Klaten Soetijoso di Dam Gayamsewu |
Selesai pembangunan Dam Ngasem - Gayamsewu, diresmikan oleh Bupati Klaten Soetijoso dan dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan Lakon Romo Tambak bertempat di kompleks Dam Ngasem - Gayamsewu.
Dan juga jalan raya yang melintasi jembatan Gayamsewu mulai dari Gapura ( sekarang sudah tidak ada ) pertigaan Bledrek hingga perempatan Sentul diberikan nama Jalan Poncowati.
Keberadaan Dam Ngasem - Gayamsewu setelah diresmikan karena memiliki genangan air yang cukup luas dan dalam saat itu menjadi destinasi wisata baru untuk rekreasi, pemancingan serta olahraga renang anak-anak muda.
Namun karena seringnya banjir besar dan banyaknya sedimentasi karena tingkat erosi yang tinggi di DAS lereng gunung Merapi dalam waktu kurang lima tahun genangan air Dam Ngasem - Gayamsewu telah terpenuhi oleh material pasir.
Dan jembatan Gayamsewu lama yang sempit berkonstruksi gabungan besi dan kayu di bongkar diganti lebih lebar dan dengan konstruksi beton bertulang sebagaimana terlihat saat ini.
Kadilajo, 5 Oktober 2022
By@kiss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar